Sabtu, 04 April 2009

>>>>NIKMATILAH WAHANA KETENANGAN HATU BERSAMA KAMI


PACARAN

Adakah Pacaran dalam Islam?
Ditulis pada 10 Nove04beMon, 16 Apr 2007 21:16:22

Coba tebak, adakah istilah pacaran ini dikenal dalam Islam? Soalnya saya pernah lihat dan baca sampul buku (atau majalah) berjudul pacaran secara Islami.

—————————–

Hukum Pacaran dalam Islam

Pertanyaan: Apakah menurut Islam pacaran dibolehkan? Tolong dijawab. (081931213***)

Jawaban: Pacaran dilarang dan diharamkan dalam Islam. Cukuplah firman-firman Allah berikut ini yang menunjukkan akan keharamannya:
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.” [Al-An'aam:151]
“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [Al-Israa`:32]
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” [An-Nuur:30]
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” [An-Nuur:31]

Pacaran mengantarkan kepada perzinahan dan perbuatan keji lainnya. Perhatikanlah wahai orang-orang yang berakal! Wallahu A’lam.

Sumber: Buletin Al-Wala’ Wal-Bara’ edisi ke-33 Tahun ke-3 / 22 Juli 2005 M / 15 Jumadits Tsani 1426 H

PACARAN 1

Betulkah di dalam Islam ada yang namanya pacaran?
"Pacaran" adalah suatu kata yang tidak asing lagi kita dengar di kalangan remaja. Sebetulnya apa yang disebut dengan "pacaran" itu? Betulkah di dalam Islam ada yang namanya pacaran?

Pacaran diidentifikasikan sebagai suatu tali kasih sayang yang terjalin atas dasar saling menyukai antara lawan jenis. Apabila kita lihat secara sepintas dari definisi diatas mungkin dapat disimpulkan bahwa pacaran itu merupakan suatu yang wajar dilakukan dikalangan remaja. Padahal apabila kita tinjau dari sudut agama Islam, dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits ternyata tidak ada satu kalimatpun yang menjelaskan tentang pacaran.

Dalam Islam hanya ada khitbah (tunangan). Tapi khan tidak mungkin kita tunangan tanpa mengenal pribadi calon kita?. Tidak seperti itu, sebelum terjadi khitbah, di dalam Islam dianjurkan untuk berta’aruf (berkenalan) itupun kalau seandainya kita siap untuk nikah. Sebenarnya rugi kalau seandainya pacar kita itu bukan jodoh yang Allah SWT takdirkan untuk kita. Padahal kita sudah berkorban.

Islam sesungguhnya agama kasih sayang, sangat tidak adil jika kita memberikan kasih sayang itu kepada seseorang saja. Padahal umat Islam itu bersaudara, Firman Allah dalam QS Al-Hujurat : 10, "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara". Bagaimana kita bersaudara dalam Islam?


Saling bersilaturahmi, karena dengan bersilaturahmi dapat menumbuhkan rasa kasih sayang.


Saling bertausyiah, karena ketika kita lupa kita diingatkan, dan ketika orang lain lupa kita mengingatkan.


Saling mendo’akan.

Jadi kita harus memberikan kasih sayang kepada seluruh umat Islam di dunia ini, bukan hanya kepada seseorang dan kelompok tertentu saja.

Untuk itu, marilah kita sama-sama untuk menghindari yang namanya pacaran itu. Karena kasih sayang tidak harus diungkapkan kepada seseorang saja, tetapi kepada siapa saja. Apabila kita melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh agama, maka kita akan berdosa. Begitu juga pacaran, apabila kita melakukan apa yang disebut dengan pacaran, maka kita akan berdosa pula. Na’udzubillaahi min dzalik.

Oleh karena itu, hendaklah kita :


Menundukan pandangan.

"Firman Allah dalam QS An-Nuur : 31 mewajibkan kita untuk menundukkan pandangan. Sabda Rasul : "Pandangan itu merupakan salah satu panah iblis."


Jangan berduaan dengan lawan jenis.

"Janganlah kamu pergi berduaan dengan lawan jenismu, sebab yang ketiganya adalah setan."


Memperbanyak shaum sunat

Hal ini dimaksudkan agar kita selalu dapat menjaga pandangan dan menahan hawa nafsu.

Cobalah tiada lain suatu amalan yang dicintai Allah, sesungguhnya Allah akan jauh lebih mencintai kita. Carilah amalan yang disukai Allah, setelah kita tahu bahwa dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran, cobalah untuk membatasi diri dalam hal itu. Ingatlah bahwa jangankan berpacaran, mendekatinya saja kita sudah tidak boleh. Firman Allah "Janganlah kamu dekati zina".

Kita tidak bisa menjaga pandangan dari yang tidak halal berarti kita sudah zina mata. Begitupun dengan pendengaran, pembicaraan, hati, bila tidak kita jaga dari perbuatan yang mendekati zina, berarti kita sudah berzina. Na’udzubillaahi min dzalik.

Islam Itu Agama Yang Mudah Di capai


Islam mempunyai karakter sebagai agama yang penuh kemudahan seperti telah ditegaskan langsung oleh Allah Swt. dalam firmanNya: “…dan Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian.”

Sementara dalam sebuah haditsnya, Nabi Saw. pun bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

Visi Islam sebagai agama yang mudah di atas termanifestasi secara total dalam setiap syari’atnya. Sampai-sampai, Imam Ibn Qayyim menyatakan, “Hakikat ajaran Islam semuanya mengandung rahmah dan hikmah. Kalau ada yang keluar dari makna rahmah menjadi kekerasan, atau keluar dari makna hikmah menjadi kesia-siaan, berarti itu bukan termasuk ajaran Islam. Kalaupun dimasukkan oleh sebagian orang, maka itu adalah kesalahkaprahan.”

Ada beberapa prinsip yang secara kuat mencerminkan betapa Islam merupakan agama yang mudah, diantaranya :

Pertama, menjalankan syari’at Islam boleh secara gradual (bertahap).

Dalam hal ini, seorang muslim tidak serta-merta diharuskan menjalankan kewajiban agama dan amalan-amalan sunnah secara serentak. Ada tahapan yang mesti dilalui: mulanya kita hanya diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pokok agama. Setelah yang pokok-pokok berhasil dilakukan dengan baik dan rapi, kalau punya kekuatan dan kesempatan, maka dianjurkan untuk menambah dengan amalan-amalan sunnah.

Izin untuk mengamalkan syari’at Islam secara bertahap ini telah dicontohkan oleh RasululLah Saw. sendiri. Suatu hari, seorang Arab Badui yang belum lama masuk Islam datang kepada RasululLah Saw. Ia dengan terus-terang meminta izin untuk sementara menjalankan kewajiban-kewajiban Islam yang pokok saja, tidak lebih dan tidak kurang.

Beberapa Sahabat Nabi menunjukkan kekurang-senangannya karena menilai si Badui enggan mengamalkan yang sunnah. Tapi dengan tersenyum, Nabi Saw. mengiyakan permintaan orang Badui tersebut. Bahkan beliau bersabda: “Dia akan masuk surga kalau memang benar apa yang dikatakannya.”

Kedua, adanya anjuran untuk memanfaatkan aspek rukhshah (keringanan dalam praktek beragama).

Aspek Rukhshah ini terdapat dalam semua praktek ibadah, khususnya bagi mereka yang lemah kondisi tubuhnya atau berada dalam situasi yang tidak leluasa. Bagi yang tidak kuat shalat berdiri, dianjurkan untuk shalat sambil duduk. Dan bagi yang tidak kuat sambil duduk, dianjurkan untuk shalat rebahan. Begitu pula, bagi yang tidak kuat berpuasa karena berada dalam perjalanan, maka diajurkan untuk berbuka dan mengganti puasanya di hari-hari yang lain.

Dalam sebuah hadits Qudsi Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Allah suka kalau keringanan-keringananNya dimanfaatkan, sebagaimana Dia benci kalau kemaksiatan terhadap perintah-perintahNya dilakukan.” (HR. Ahmad, dari Ibn ‘Umar ra.)

Dalam sebuah perjalanan jauh, RasululLah Saw. pernah melihat seorang Sahabatnya tampak lesu, lemah, dan terlihat berat. Beliau langsung bertanya apa sebabnya. Para Sahabat yang lain menjawab bahwa orang itu sedang berpuasa. Maka RasululLah Saw. langsung menegaskan: “Bukanlah termasuk kebajikan untuk berpuasa di dalam perjalanan (yang jauh).” (HR. Ibn Hibbân, dari Jâbir bin ‘AbdilLâh ra.)

Ketiga, Islam tidak mendukung praktek beragama yang menyulitkan.

Disebutkan dalam sebuah riwayat, ketika sedang menjalankan ibadah haji, RasululLâh Saw. memperhatikan ada Sahabat beliau yang terlihat sangat capek, lemah dan menderita. Maka beliau pun bertanya apa sebabnya. Ternyata, menurut cerita para sahabat yang lain, orang tersebut bernadzar akan naik haji dengan berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah. Maka RasululLâh Saw. langsung memberitahukan, “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan tindakan penyiksaan diri sendiri, seperti yang dilakukan oleh orang itu.” (HR. Bukhâri dan Muslim, dari Anas ra.)

Demikianlah, Islam sebagai agama yang rahmatan lil’ ‘alamin secara kuat mencerminkan aspek hikmah dan kemudahan dalam ajaran-ajarannya. Dan kita sebagai kaum muslimin, telah dipilih oleh Allah Swt. untuk menikmati kemudahan-kemudahan tersebut. Diceritakan oleh ‘Aisyah ra. bahwa RasululLâh Saw. sendiri dalam kesehariaannya, ketika harus menentukan antara dua hal, beliau selalu memilih salah satunya yang lebih mudah, selama tidak termasuk dalam dosa. (HR. Bukhâri dan Muslim)

Akan tetapi, kemudahan dalam Islam bukan berarti media untuk meremehkan dan melalaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Rukhshah tidak untuk dijadikan apologi, keringanan-keringanan dari Allah bagi kita jangan sampai membuat kita justru menjadi jauh dariNya. Karakter Islam sebagai agama yang mudah merupakan manifestasi nyata bahwa ajaran Islam bukanlah sekumpulan larangan yang intimidatif, melainkan ajaran yang menyebarkan kasih-sayang.

Sehingga dengan demikian, ketika kita menjalankan ajaran-ajaran Islam, motivasinya sebaiknya bukan karena kita takut kepada Allah Swt., tapi lebih karena kita rindu dan ingin lebih dekat denganNya. Bukan karena kita ngeri akan nerakaNya, namun lebih karena kita ingin bersimpuh di haribaanNya –di dalam surga yang abadi.
Benarkah Orang Baik Belum Tentu Masuk Surga ?
Kategori : Aqidah dan Keimanan
Apakah Bunda Theresa yang sepanjang usia nya dibaktikan untuk umat miskin India harus masuk neraka ? Apakah Paus Paulus II yang pernah menjamu calon pembunuhnya dengan baik hingga si calon pembunuhpun membatalkan rencana pembunuhan tersebut juga tak pantas masuk surga ? Apakah Mahatma Gandi yang secara lembut, sabar dan selalu menggunakan jalan damai untuk membela kemerdekaan rakyat India juga harus masuk neraka ? Bagaimana pula dengan sebagian dari milyaran umat manusia non Islam yang baik hati, apakah mereka harus masuk neraka dibanding sebagian dari milyaran umat Islam tapi buruk perilakunya ?

Apakah Akhlak Menentukan Seseorang Masuk Surga atau Tidak ?

Ada satu jawaban yang singkat, jelas dan tegas untuk pertanyaan tersebut yaitu, “kalau memang akhlak dijadikan patokan oleh Tuhan untuk menentukan pantas tidaknya seseorang masuk surga, maka agama tidak diperlukan lagi di muka bumi ini”
Kalau memang akhlak kriteria utama menentukan masuk surga atau tidaknya seseorang, maka untuk apa lagi agama, karena tanpa agama saja orang bisa berbuat baik. Di negeri atheis seperti di Rusia, China, atau di negeri sekuler seperti Eropa dan Amerika, ditemukan banyak orang yang tak beragama tapi memiliki akhlak yang luar biasa baiknya. Tidak usah jauh-jauh, pasti kita sering menemukan diantara teman atau tetangga kita akhlaknya sangat baik, ia mengaku punya agama tapi tak pernah sholat atau ke gereja, tapi nyatanya akhlaknya lebih baik dari umat Islam yang rajin beribadah.

Sifat baik adalah fitrah yang diberikan Allah sejak kita didalam kandungan. Fitrah (sifat-sifat baik) adalah kecenderungan manusia untuk berbuat kebaikan, seperti halnya binatang buas diberi Allah kecenderungan untuk bersifat buas, mereka akan tetap buas walaupun manusia berusaha menjinakkannya. Hawa nafsu dan pilihan manusia sendiri yang membuat seorang manusia menjadi jahat dan berperilaku buruk.

Dalam sebuah hadits qudsi Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya. Dan sesungguhnya mereka didatangi oleh setan yang menyebabkan mereka tersesat dari agama mereka” (HR Muslim).
Allah menganugerahi manusia kesempatan untuk memilih yang baik atau yang buruk sesuai firman Allah : “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS, Al-Balad 90 : 10). “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS, Al-Insaan 76 : 3).
Kemudian setan berusaha mengaburkan jalan yang benar sehingga jalan yang baik oleh manusia dikira sesat, dan jalan yang sesat dikira benar. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat Al Baqarah 2 : 216) : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Namun tujuan tulisan ini sama sekali bukan untuk menyatakan bahwa akhlak yang baik tidak penting, atau menjadi muslim yang berperilaku buruk lebih baik daripada non-Islam yang baik hati. Tujuan tulian ini agar kita menyadari bahwa Tuhan tidak menuntut dari manusia sekedar akhlak yang baik, tapi juga ada hal lain yang lebih utama dibanding akhlak.

Bahkan Akhlak Seorang Muslim Yang Baik Sekalipun Tidak Cukup Untuk Membuatnya Masuk Surga.

Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : "Kenapa pundakmu itu ?" Jawab anak muda itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya". Lalu anak muda itu bertanya: " Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?" Nabi SAW sangat terharu mendengarnya, sambil memeluk anak muda itu ia berkata : "Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan oleh pengorbanan dan kebaikanmu". Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita terhadap anaknya. Kita merasa sudah cukup, tapi dalam perhitungan Allah nilai jasa kedua orang tua pada anaknya jauh lebih besar nilainya dari yang dibayangkan manusia. Pasti ada sesuatu perbuatan lain yang harus kita lakukan untuk memperbanyak balas budi kita pada kedua orang tua kita. Diantaranya dengan cara menjadi anak yang sholeh dan selalu mendoakan kedua orangtua kita.

Untuk membalas budi kedua orang tua saja kita tidak akan pernah sanggup, apalagi membalas kebaikan Tuhan yang mengkaruniakan kita fitrah kasih sayang pada kedua orang tua kita, yang mengkaruniakan kita mata yang mampu melihat, telinga yang mampu mendengar, lidah yang mampu merasakan kelezatan makanan, yang telah mengkaruniakan kita udara secara gratis.

Ada perspektif yang sama antara hadits tersebut barusan dengan hadits berikut ini. Rasulullah SAW pernah berkata, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh sayapun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?” . Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”. Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah. Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Apa makna dari kedua hadits tersebut diatas ? Yaitu bahwa perbuatan baik (akhlak) dan ibadah kita ternyata tidak mampu untuk mendapatkan tiket ke surga. Hanya karena rahmat-Nya lah kita bisa ke surga. Akhlak dan amal ibadah juga tidak cukup menjamin kita terbebas dari api neraka, hanya ampunan-Nya lah yang bisa membuat kita terbebas dari api neraka. Karena itu kita diminta banyak memohon rahmat dan ampunan Allah.

Pertanyaan berikutnya (dikaitkan dengan judul tulisan ini) adalah apa syaratnya agar doa kita untuk memohon rahmat dan memohon ampunan Allah bisa diterima ?
Tidak semua orang diberi rahmat surga, dan tidak semua orang diberi ampunan dari ancaman neraka. Karena itu Allah menentukan syarat utamanya adalah beriman kepada-Nya dan rasul-Nya (melalui syahadat). Ia harus memiliki aqidah yang benar, memahami siapa Tuhan yang disembahnya dengan benar, apa yang dimaui-Nya, bagaimana cara mencintai-Nya. Inilah syarat utama agar permohonan rahmat dan ampunan kita bisa diterima.

Apakah Benar Anggapan Bahwa Sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang Akan Membuat Allah Tidak Mungkin (Tega) Menghukum Orang Yang Baik Hati ?

Di akhirat kelak orang yang tidak beriman kepada Allah akan membawa amal kebaikannya ke hadapan Allah, tapi kemudian Allah tidak menerimanya, seperti tersebut dalam Al Qur’an surat Al Furqan ayat 23, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”.

Ibarat seorang pembantu yang bekerja keras pada majikannya, setiap hari ia bangun pagi membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyapu halaman, menjaga keselamatan anak majikan selama majikan bekerja diluar. Namun sang pembantu yang rajin ini ternyata tidak sopan dalam kata dan perilaku, Sang pembantu tidak mau berusaha memperbaiki sikapnya ini pada atasannya, karena ia mempunyai pendapat sendiri tak mungkin majikan akan memecatnya karena ia sudah bekerja sangat keras dan merawat anak-anak majikannya dengan baik. Ia tidak juga berusaha mencari tahu apa yang diinginkan sang majikan. Padahal jelas sang majikan sudah menulis tatatertib dan uraian kerja pembantu rumah tangga, diantaranya disebutkan bahwa kesopanan adalah syarat terpenting bekerja di rumah majikan tersebut. Bahkan terkadang ia sombong dan keras hati serta menyimpulkan sendiri bahwa sebagai orang yang berintelektual tinggi seharusnya majikannya bisa menerima kekurangan sang pembantu. Iapun kaget ketika di akhir bulan, sang majikan memecatnya dengan alasan tidak sopan. Ia protes tapi majikannya punya hak.

Analogi sederhana ini, menyiratkan bahwa agar doa, ampunan, amal dan ibadah kita bisa diterima Allah hendaknya kita mengenal Allah secara baik, melalui perenungan dan makrifatullah. Kitapun sebagai hamba Allah perlu mencari tahu apa sebenarnya syarat utama yang diinginkan Allah agar segala amal ibadah dan akhlak baik kita diterima Allah. Tidak susah mengenal Allah karena karya-Nya ada disekeliling kita, yaitu alam semesta ini, bahkan Ia telah memperkenalkan diri-Nya pada manusia melalui kitab-kitab suci dan ajaran nabi-Nya. Dengan mengenal allah secara baik kita akan tahu bahwa Allah sangatlah penyayang, demikian sabar dengan kelemahan manusia, terlalu banyak kesalahan kita yang dimaafkan-Nya, bahkan kita akan tahu bahwa terlalu berlebihan kalau keimanan, amal ibadah dan kebaikan kita dibalas dengan surga yang luar biasa nikmatnya. Dengan hati yang bersih dan ilmu yang cukup juga akan memudahkan kita memahami mengapa Allah mengancam orang-orang tidak beriman dan yang buruk akhlaknya dengan neraka.

Memahami Allah dengan menggunakan kemampuan akal manusia adalah sia-sia, karena hakikat sifat-sifat Allah tidak dicerna oleh akal manusia, tapi oleh hati manusia. Hati manusia akan membantu kita memahami Allah, karena didalam hati bersemayam fitrah manusia yang salah satunya memiliki sifat-sifat cinta kepada Allah. Hatipun perlu dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran (sifat sombong, dengki, kikir, dsbnya) agar fitrah manusia bisa diaktifkan untuk memahami sifat-sifat Allah dengan baik.

Tanpa Mengenal Sifat Allah Dengan Baik Maka Sia-sialah Akhlak Baik, Amal dan Ibadah Kita

Melalui pengenalan yang baik terhadap Allah melalui cara-cara yang diatur dalam Qur’an dan hadits, akan kita temukan bahwa Allah mensyaratkan aqidah Islam yang benar sebelum segala amal ibadahnya diterima.

Aqidah adalah hal yang pokok yang membedakan Islam dengan agama lainnya. Aqidah adalah fondasi bangunan seorang umat Muslim, sedang ibadah (syariah) adalah dinding bangunan seorang Muslim, lalu akhlak adalah atapnya. Tanpa fondasi maka ia pun tidak bisa mendirikan bangunan diri seorang Muslim, tanpa aqidah yang benar dan lurus iapun tidak pantas disebut seorang Muslim. Tanpa ibadah yang sesuai syariah Islam, iapun belum sempurna untuk dikatakan sebagai sebuah bangunan yang bernama Muslim. Demikian pula, tanpa Atap yang bernama akhlak, bangunan yang bernama Muslim ini belum utuh dan akan mudah rusak oleh hujan dan panas. Muslim yang baik wajib memiliki ketiga syarat ini (aqidah, ibadah dan akhlak) secara lengkap, tidak kurang satupun, dan harus sempurna. Bila aqidahnya salah, maka kekal lah ia di neraka, bila ibadah dan akhlak buruk maka ia ‘mungkin’ masih berpeluang masuk surga setelah di’cuci’ dulu di neraka. Semoga kita tidak termasuk sebagai orang yang di’cuci’ dulu, apalagi kekal, di neraka. Mumpung kita masih hidup di dunia ini, semoga kita diberi ilmu oleh Allah SWT mengenai kedahsyatan akhirat dan neraka, supaya kita tidak menggampangkan diri untuk menganggap bahwa di’cuci’ di neraka adalah bukan masalah besar. Tidak untuk sedetikpun ! Naudzu billah min dzalik.

Aqidah adalah apa yang diyakini seseorang, bebas dari keraguan. Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Aqidah Islam merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin, dan merupakan syarat sahnya semua amal kita. Untuk memperoleh aqidah yang lurus kita perlu mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah dan apa-apa yang disukai dan dibenci Allah. Tanpa aqidah yang lurus maka amal ibadah kita tidak diterima-Nya. Salah satu hal yang paling dibenci Allah SWT adalah syirik, yaitu mensejajarkan diri-Nya dengan makhluk atau benda ciptaan-Nya. Allah berfirman, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang yang merugi” (QS, Az-Zumar: 65).

Aqidah adalah tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil, dan tidak ada medan ijtihad atau berpendapat didalamnya. Sumbernya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab tidak ada yang lebih mengetahui tentang sifat-sifat Allah selain Allah sendiri. Aqidah Islamiyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah SWT dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan ta’at kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari akhir, taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang sudah shahih tentang Prinsip-Prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.


Begitu pentingnya aqidah dalam Islam, sehingga pelurusan aqidah adalah dakwah yang pertama-tama dilakukan para rasul Allah, setelah itu baru mereka mengajarkan perintah agama (syariat) yang lain. Didalam Al Qur’an, surat Al-A’raf ayat 59, 65, 73 dan 85, tertulis beberapa kali ajakan para nabi, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain-Nya”. Dengan demikian ilmu Tauhid sebagai ilmu yang menjelaskan aqidah yang lurus, merupakan ilmu pokok yang harus dipahami sebaik mungkin oleh setiap umat Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan terbenam dalam keraguan dan berbagai prasangka, yang lama kelamaan akan menutup pandangannya dan menjauhkannya dari jalan hidup kebahagiaan. Tanpa aqidah yang lurus seseorang akan mudah dipengaruhi dan dibuat ragu oleh berbagai informasi yang menyesatkan keimanan kita.

AGAMA ISLAM 

>>>>Indahnya Hidup Merdeka


Bismillahirrahmanirrahiim

Segala puji bagi Allah Yang Maha Agung, yang selalu ingin membahagiakan hamba-hamba-Nya, dengan menjadi pribadi yang bebas dari perbudakan hawa nafsu, perbudakan cinta dunia, atau perbudakan apapun yang akan merampas kemuliaan dan kebahagiaannya. Satu-satunya jalan menjadi tuan yang berhak memerintah dan mengatur dirinya sendiri adalah dengan menjadi hamba Allah semata.

Shalawat dan salam semoga tercurah bagi baginda Rasulullah Saw. yang hidupnya benar-benar merdeka dari perbudakan apapun, selain mulia menjadi hamba Allah semata.

Saudara-saudaraku yang budiman, alangkah pilu dan pedih melihat bangsa yang terjajah dan terampas kemerdekaannya. Diatur dan diperintah semata-mata untuk mengikuti selera yang menjajah. Tiada ketentraman, tiada cita-cita, tiada kebahagiaan, dan tiada masa depan yang cerah.

Kita saksikan pula negeri kita yang pernah dijajah Belanda 350 tahun lamanya, lalu dilanjutkan oleh penjajahan Jepang. Hasilnya, walaupun kini kita sudah merdeka tapi kita tetap terpuruk dalam ujian yang seakan tiada akhirnya. Karena kendatipun bangsa kita telah merdeka, ternyata sebagian besar pemimpin dan rakyatnya --serta boleh jadi termasuk kita-- masih dijajah oleh bentuk penjajahan yang lain, yang membuat hidup kita tidak bahagia, tidak merdeka dan tidak mulia.

Artikel kecil ini mudah-mudahan akan mengantarkan kita untuk menyadari betapa pentingnya membebaskan diri dari belenggu yang akan merusak martabat kita sebagai manusia mulia, karena terjajah oleh sesuatu selain Allah.


Hidup yang merdeka adalah:

1. Tidak Disiksa oleh Banyaknya Keinginan

Memiliki keinginan adalah sesuatu yang sangat manusiawi, bahkan manusia bisa maju dan berprestasi karena keinginan. Tetapi, jikalau hidup diperbudak keinginan sampai terampas kebahagiaan, ibadah, waktu, pikiran, tenaga, bahkan biaya hanya untuk meladeni keinginan kita, dan keinginan tersebut nyata-nyata tidak membawa manfaat bagi kemuliaan dunia dan akherat, berarti kita sudah dijajah oleh keinginan.

Lihatlah orang yang disiksa oleh keinginan memiliki rumah megah, mobil baru, penampilan yang selalu trendi, hari-harinya benar-benar hari-hari yang terjajah. Tidak layak kita menggadaikan hidup ini untuk meladeni setiap keinginan.

Kita harus selalu berpikir jernih. Keinginan yang harus kita penuhi adalah keinginan yang disukai oleh Allah, yakni keinginan yang bisa menjadi ladang amal saleh kita dan bekal untuk kepulangan kita ke akhirat. Dengan demikian perjuangan kita pun akan menjadi ibadah. Dapat atau tidak yang kita inginkan, insya Allah tetap menjadi amal kebaikan dan bisa menjadi bekal pulang yang bernilai.

Allah berfirman, “...kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Q.S. Ali Imran [3] :159)

Sempurnakan ikhtiar dan bertawakallah karena tawakal itulah hakekat keinginan. Yang terbaik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Begitupun sebaliknya, buruk menurut kita belum tentu buruk menurut Allah.

Allah juga berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah [2] : 216)

Dengan kata lain, silakan miliki keinginan tapi pastikan keinginan itu menjadi pengantar ke jalan yang lurus dan ikhtiar di jalan-Nya, serta serahkanlah kepada Allah apa yang terbaik menurut Allah semata. insya Allah kita akan bebas dari penderitaan disiksa oleh keinginan.


2. Bebas dari Perbudakan Nafsu

Nafsu adalah bagian dari karunia Allah yang melengkapi kehidupan kita menjadi bahagia bahkan mulia. Namun, nafsu harus terkendali. Kita lihat orang-orang yang diperbudak nafsu syahwat, hari-harinya hanya memikirkan kemaksiatan.

Sepatutnya kita merenungkan firman Allah berikut, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Q.S. Al Kahfi [18] :28)

Bahkan kita lihat ada orang yang melumuri dirinya dengan perbuatan yang sangat rendah karena diperbudak oleh syahwat. Dia berzina dan memperkosa, sehingga menghancurkan nilai-nilai yang ada pada dirinya dan juga menghancurkan orang lain, semata-mata karena diperbudak oleh syahwat. Padahal kalau kita lurus di jalan Allah maka kita akan mendapatkan ganjaran dari setiap aktifitas yang kita lakukan.

Begitu pula orang yang diperbudak nafsu amarah, pikirannya penuh kekejian, dendam membara, tutur kata penuh angkara murka, tindakan menjadi keji dan hina, dan sudah pasti dia tidak akan pernah disukai oleh orang lain, sehingga hari-harinya penuh ketegangan, na’udzubillahi mindzalik.


Untuk itu, waspadalah bagi siapapun yang tidak bersungguh-sungguh melatih diri untuk mengendalikan amarah, maka akan habis kehidupannya karena dijajah oleh nafsu amarah.

Betapa pengasihnya Allah yang telah memberi peringatan kepada kita dalam firman-Nya, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (Q.S Yusuf [12] : 53)

Wahai sahabatku yang baik, hidup tidak pernah bahagia dan mulia bagi orang-orang yang dijajah oleh kemarahan. Kita harus berjuang sungguh-sungguh untuk melatih diri menjadi seorang yang dapat mengendalikan marah, melatih diri untuk tidak mudah tersinggung, melatih diri untuk mudah memaafkan dan memaklumi keadaan orang lain, bahkan kalau bisa latih diri kita untuk membalas dengan kebaikan kepada orang-orang yang khilaf berbuat keburukan kepada kita. Kalau kita terkendali dari nafsu amarah dan syahwat, insya Allah hidup ini lebih ringan dan bermartabat.


3. Tidak Diperbudak Asmara

Salah satu yang memperindah dan menghiasi hidup kita adalah cinta. Tapi kita lihat ada orang yang dikutuk orang tuanya, bahkan terjerumus ke lembah nista dalam perbuatan-perbuatan yang hina justru karena cinta --tentu cinta buta-- yang membuat tidak bisa melihat kebenaran.

Waspadalah saudaraku, jatuh cinta ibarat memasuki sebuah pusaran air, kalau tidak hati-hati semakin cinta semakin membelenggu, semakin hanyut, berkurang rasa malu, dan membara nafsu yang akhirnya menyengsarakan dunia akhirat, kecuali cinta di jalan Allah.

Jatuh cinta ibarat memasukkan ayam kampung ke kamar, akan sulit mengusirnya. Kalaupun susah payah mengusir, maka kamar akan berantakan. Begitulah orang-orang yang dilanda asmara dan tidak sungguh-sungguh menjaga diri.

Oleh karena itu jauhilah percintaan yang tidak disukai dan tidak di jalan Allah. Milikilah cinta yang asli karena Allah yang caranya betul-betul menegakkan apapun yang diaturkan dalam agama. Percayalah, rambu-rambu yang diberikan oleh Allah akan membuat diri kita tidak diperdaya oleh cinta yang tampaknya indah padahal bisa jadi menjerumuskan, na’uzubillahi mindzalik. Berlindunglah kepada Allah supaya kita tidak diperbudak oleh asmara buta.

“Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya. (Q.S An-Nazi’at [79] : 40-41)
4. Orang yang Jujur
Saudaraku, setiap kali berbohong maka bohong itu akan menjadi penjara bagi kita. Kita akan selalu was-was, takut diketahui kebohongan (kedustaan) kita yang mengharuskan kita berbuat bohong lanjutannya. Dan bohong itu pun tentu akan menjadi penjara baru. Demikianlah kurang lebih bagi orang-orang yang berdusta, berbohong atau tidak jujur dalam hal apapun.

Tidak akan merdeka orang-orang yang tidak menjaga dirinya dari kedustaan dan ketidakjujuran. Rasulullah bersabda, “Tidak ada akhlak yang paling dibenci Rasulullah, lebih dari bohong. Apabila beliau melihat seseorang bohong dari segi apa saja, maka orang itu tidak keluar dari perasaan hati Rasulullah sehingga beliau tahu bahwa orang itu telah bertaubat.” (H. R. Ahmad)

Pastikanlah kita menjadi orang yang menikmati hidup jujur. Semakin sedikit rahasia semakin merdeka hidup ini. Semakin tidak mengenal dusta, semakin tidak terancam diri ini. Tak ada yang membuat kita takut harus diketahui aib dan kebohongan oleh orang lain karena memang kita tidak menyembunyikan sesuatu.

Lebih baik kita disisihkan karena kita jujur daripada kita diterima karena berdusta, berarti sepanjang waktu kita akan penuh ketegangan. Selamat berbahagi bagi saudara yang berjuang menjadi pribadi yang jujur terpercaya karena itulah milik orang-orang yang merdeka dan jujur.


5. Orang yang Tawadhu

Rendah hati adalah kunci kebahagiaan. Semakin kita ingin dihargai, semakin ingin dihormati, semakin ingin dipuji, semakin ingin diperlakukan lebih, maka semakin sengsara hidup ini, karena kita semakin butuh kepada orang lain. Padahal orang lain belum tentu sesuai keinginannya dengan kita.

Orang yang rendah hati, pikirannya adalah justru ingin melihat orang lain lebih berhak untuk dihargai, lebih berhak untuk dihormati, dan tidak melihat orang lain lebih rendah dari dirinya.

Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik”. (Q.S. Al Furqaan [25] : 28). Ketawadhuan tidak akan pernah menghinakan, bahkan sebaliknya akan mengangkat derajat seseorang.

Adalah mimpi kita bahagia jikalau kita menjadi orang yang sombong dan takabur. Sabda Rasulullah, “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.” (H.R Muslim). Kebahagiaan dan kemerdekaan adalah milik orang-orang yang rendah hati.


6. Orang yang Ikhlas

Ikhlas adalah kunci kemerdekaan hati. Orang-orang yang ria yang hidupnya tamak akan pujian akan menjadi korban mode dan korban jaman. Tetapi orang-orang yang ikhlas tidak pusing dengan penilaian manusia. Yang dia pikirkan adalah selalu memikirkan yang terbaik, dan puas dengan penilaian Allah Yang Maha Dekat serta ganjaran dari Allah yang melimpah dan tidak mengecewakan.

Rasulullah bersabda, “Allah tidak menerima amalan, melainkan amalan yang ikhlas dan yang karena untuk mencari keridhaan Allah.” (H. R. Ibnu Majah)

Wahai saudaraku yang baik, marilah kita nikmati menjadi orang yang tidak terpengaruh oleh kerinduan dipuji orang lain. Pujian orang hanyalah tipu daya bagi kita, cobaan yang membuat kita sering menipu diri padahal kita tidak layak dipuji.

Tapi pujian dari Allah akan menyelamatkan kita dunia akhirat. Karena Allah yang menggenggam setiap rezeki, kedudukan, kemuliaan, bahkan nikmat dunia akhirat. Untuk apa kita dipuji makhluk yang pasti binasa. Lebih baik puaskan diri ingin dipuji Allah, itulah yang membuat kita merdeka dalam hidup ini.


7. Orang yang Tawakal

Semakin banyak bergantung kepada sesuatu maka kita akan takut kehilangan sesuatu. Seperti orang yang bersandar di kursi akan takut kursinya diambil. Tetapi bergantung kepada Allah, itulah yang akan memuaskan karena Allah menggenggam segala yang kita butuhkan. Allah Maha Tahu masalah kita, Allah Maha Tahu segala jalan keluar dari kesulitan kita, dan Allah-lah yang kuasa atas segala-galanya.

Dan orang yang bertawakal, dicukupi kebutuhannya oleh Allah Yang Maha Tahu kebutuhan kita. Allah berfirman, “...Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”. (Q.S Ath Thalaaq [65] : 3)

Sahabat-sahabatku yang budiman, untuk apa kita bergantung kepada manusia. Makhluk adalah lemah tiada daya dan tidak bisa memberi manfaat bagi kita tanpa izin Allah dan juga tidak bisa memberikan mudharat.

Marilah kita puaskan diri kita, ikhtiar kita, dan ketawakalan kita. Gigihnya ikhtiar jangan mencuri hati dari tawakkal kepada Allah. Yakinnya kepada Allah jangan pernah mengurangi ikhtiar kita, itulah orang-orang yang akan menikmati kemerdekaan dalam hidup ini. Akhlaknya jadi mulia dan indah kalau setiap perilakunya bisa menjadi amal shaleh yang menjadi bekal kebahagiaan dunia dan menjadi bekal perjumpaan dengan Allah Azzawajalla.

Sekali merdeka tetap merdeka. Sekali menjadi hamba Allah selama-lamanya hanyalah untuk mengabdi kepada Allah. Wallahua’lam.***